Selasa, 05 April 2016

KENAPA WANITA HAMIL DAN MENYUSUI BOLEH TIDAK BERPUASA?

Kenapa orang begitu bersemangat menyongsong datangnya Ramadhan? tak diragukan lagi bahwa banyak manfaat serta hikmah yang didapat dari orang yang berpuasa dibulan ramadhan. Keterangan ini bisa didapat dari kitab kitab serta riwayat riwayat saheh berkenaan dengan ramadhan, diceritakan bahwa sahabat nabi begitu antusias menyambutnya. Hal ini tergambar dari ekspresi serta mimik-mimik mereka yang riang gembira.
Bagamana dengan kita? mungkin sebagian sangat berbahagia karena berharap ramadhan merupakan momentum penting untuk memperbaiki diri serta meningkatkan kualitas ibadah kita, namun tak dipungkiri sebagian lain yang menyambutnya dingin dingin saja karena menganggap bulan tersebut hanyalah rotasi dari bulan bulan sebelumnya.
Agus mustofa dalam bukunya, scientific fasting, menjelaskan setidaknya ada empat manfaat puasa. Pertama, manfaat lahiriah, yakni berupa kesehatan serta ketajaman berfikir. Kedua, manfaat batiniah yang bersifat meneguhkan keyakinan dan pengendalian diri dalam mengarungi kehidupan. Ketiga, manfaat social yang berfungsi membangun kembali sendi sendi kehidupan social agar diperoleh format kehidupan kolektif yang adil dan sejahtera. Serta keempat, manfaat spiritual yang berkaitan dengan pendekatan kita kepada ALLAH swt. Sebagai puncak tujuan hidup dan ibadah kita.
Bagi orang beriman, tentu ramadhan sangat dinanti nantikan kehadirannya. Inilah bulan dinama rahmad, maghfidah, keberkahan serta berbagai keutamaan dapat direguk, apalagi di antara malam malamnya terdapat satu malam istimewa bernama malam lailatur qadr. Inilah indahnya orangyang berpuasa di bulan Ramadhan. Hanya saja dalam dataran praktisnya, tak semua orang mukmin bisa menjalankan rukun islam yang satu ini. Bukan karena ketidaktahuan mereka tentang luar biasanya amalan di bulan ini, tetapa karena ada Beberapa kendala. Kendala kendala inilah yang di sebut juga dengan udzur syar’i yang menyebabkan orang mukmin boleh tidak menjalankan puasa ramadhan di bulan ramadhan. Apa udzur udzur tersebut? dalam beberapa keterangan yang bersumber dari nash-nash yang kuat adalah orang yang sakit, musafir, orang yang lanjut usia, wanita yang sedang hamil dan menyusui. Untuk itulah, tulisan ini tidak bermaksud membahas semua udzur di atas melainkan hanya problem yang dihadapi oleh wanita hamil  dan menyusui di bulan ramadhan. Alasan apa yang menyebabkan mereka boleh tidak berpuasa, baik secara medis maupun agama?
SISI MEDIS
Sebenarnya wanita hamil dan menyusui tetap boleh  berpuasa. Karena puasa ramadhan pada hakekatnya hanya memindahkan makan pagi, siang, dan malam menjadi buka, sahur dan waktu diantaranya. Ibu dan janinnya tidak akan kekurangan gizi, asalkan mengkomsumsi makanan yang seimbang selama buka puasa, sahur dan waktu diantara buka dan sahur. Namun, tentu saja kesehatan kandungan dan bayi yang disusui harus diprioritaskan. Jika ibu hamil merasa lemah, pusing atau timbul masalah kesehatan yang ada hubungannya dengan puasa seperti hipertensi, sebaiknya memutuskan untuk tidak puasa. Demikian halnya trimester awal yang biasanya disertai mual atau muntah masih sering terjadi. Disamping itu, pada bulan bulan terakhir terkadang juga terjadi keracunan kehamilan. Untuk menghindari hal demikian, sebaiknya tidak berpuasa. Dan bagi bayi yang masih membutuhkan ASI, jika asupan ASInya jadi berkurang hingga bisa mengakibatkan terganggunya kesehatan bayi lantaran sang ibu berpuasa, maka dalam hal ini seorang ibu yang menyusui pun boleh tidak berpuasa. Oleh karena Itu, kalaupun ada ibu hamil yang tetap berpuasa, ia juga harus mengomsumsi makanan yang bergizi pada saat berbuka dan sahur. Sayur, protein dan makanan sehat lainnya tak boleh dilewatkan karena wanita yang hamil membutuhkan kalori dan kebutuhan makanan yang cukup. Sehingga kebutuhan ibu akan zat zat makanan juga menjadi lebih besar. Apalagi jika usia kandungan sudah besar, tentu juga si ibu memerlukan persiapan energi lebih besar menjelang melahirkan sang bayi. Akibatnya konsumsi energi yang dibutuhkan juga lebih besar ketimbang wanita yang tidak hamil. Sehingga, meskipun ibunya sedang berpuasa, janin tetap mendapatkan pasokan gizi yang cukup. Namun, bukan berarti wanita hamil harus makan sepanjang malam agar janin dalam kandungan tidak kelaparan. Makan secukupnya saja, karena lambung juga punya kapasitas sendiri. Yang penting makanannya bergizi. Selain itu, wanita hamil sebaiknya juga mengurangi aktivitas. Sebab energi yang dibutuhkan pada saat tidak berpuasa pun cukup besar lantaran bebannya bertambah. Memang energinya bisa di ambil dari lemak yang tersimpan di dalam tubuh. Tapi akan lebih baik bila memambah waktu istirahatnya yang cukup supaya tidak terlalu lelah. Begitu juga untuk kebutuhan sirkulasi darah, metabolisme tubuh dan yang lainnya. Mengingat kondisi inilah, islam memberikan dispensasi (rukhshah) kepada wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Dalam konteks inilah, islam juga sudah memahami betapa seorang wanita hamil memerlukan energi yang lebih besar, sehingga diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Sebenarnya prinsip agama tidaklah membebani di luar batas kemampuan dan kesanggupan umatnya. Semua orang muslim yang sudah baliqh, wajib menjalankan sholat sebagaimana biasanya. Tetapi dalam kondisi tertentu, sakit misalnya, agama memberikan keringanan. Orang boleh saja menjalankan shalatnya dengan cara duduk atau berbaring sesuai kemampuannya. Demikian pula dengan kewajiban berpuasa bagi wanita hamil dan menyusui yang kondisinya jelas berbeda dengan wanita biasa. Agama memberikan dispensasi pada kelompok wanita ini. Semua mazhab fiqih sepakat bolehnya mereka tidak berpuasa di bulan ramadhan. Memang dalam nash Al-Qur’an tidak menyebutkan, tapi bisa diqiyaskan dengan orang sakit, dimama secara jelas Al-Qur’an menyebutkannya, “dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada akhir hari-hari yang lain”(QS.Al-Baqarah:185).

Wanita hamil atau menyusui boleh tidak berpuasa pada bulan ramadhan dengan alasan khawatir akan membahayakan anak yang dikandungnya/disusuinya. Bahkan jika dikuatkan oleh keterangan dokter, ia bukan lagi boleh tetapi wajib berbuka. Firman Allah,”…dan janganlah kamu bunuh anak-anakmu…” (QS. Al-an’am:151).

Apabila wanita hamil dan menyusui  hanya mengkhawatirkan keselamatan dirinya (tidak termasuk anaknya), maka mayoritas ulama berpendapat bahwa mereka boleh tidak berpuasa tetapi wajib mengqadhanya tanpa membayar fidyah. Dalam hal ini kedudukan mereka dipersamakan dengan orang sakit.

Bagaimana jika yang dikhawatirkan keselamatan anaknya? Dalam hal berpuasa, para ulama sepakat bahwa ia boleh tidak berpuasa. Sedangkan dalam masalah qadha dan membayar fidyah, mereka berbeda pendapat. Ada silang pendapat mengenai masalah ini, apakah wanita tersebut wajib mengqadha saja atau memberi makan orang miskin saja, ataukah wajib mengqadha dan memberi makan sekaligus?

Menurut mazhab Maliki, bagi wanita hamil tetap wajib qadha, tapi tidak diwajibkan membayar fidyah, sedang bagi wanita menyusui wajib menbayarnya. Mazhab  Hanafi, wajib qadha tanpa harus membayar fidyah. Sedang menurut mazhab Hambali dan Syafi’i wajib menggantinya diluar ramadhan jika kekhawatiran itu tertuju pada diri dan anaknya, tetapi kalau kekhawatiran itu tertuju kepada diri anak saja, maka selain qadha juga wajib fidyah.

Demikianlah beragam argumentasi serta pendapat para ulama yang menyertai seputar wanita hamil dan menyusui dalam kaitannya dengan puasa ramadhan. Lain mereka, lain pula pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Bagi mereka berdua, mewajibkan si wanita hamil memberi makan orang miskin saja tanpa qadha. Karena qadha itu sendiri dibatasi sampai sebelum datangnya Ramadhan berikutnya. Jika sampai tahun berikutnya tetap tidak bisa mengqadha puasa karena menyusui, maka cukup membayar fidyah saja. Alasan yang dijadikan rujukannya adalah QS. Al-Baqarah:184,”dan wajib bagi orang orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.”

Hal ini dianimi pula oleh Yusuf el-qardhawy. Menurutnya, wanita tersebut cukup memberi makan orang miskin saja tanpa wajib mengqadha. Manun ia memberi catatan bahwa dispensasi ini lebih ditujukan bagi wanita yang setiap tahun hamil atau menyusui sehingga tidak mempunyai kesempatan untuk mengqadha.

Misalnya, pada bulan puasa tahun ini, ia dalam keadaan hamil, pada bulan puasa berikutnya menyusui  dan tahun selanjutnya hamil lagi dan seterusnya. Ringkasnya, satiap tahun wanita itu selalu dalam siklus antara hamil dan menyusui. Kalau wanita seperti itu diwajibkan mengqadha puasa yang ditinggalkannya karena hamil dan menyusui, berarti ia harus berupaya secara terus menerus. Hal ini tentu saja sesuatu yang amat berat, padahal Allah tidak menghendaki kesulitan bagi hamba hambanya. Walhasil, aturan-aturan yang diterapkan agama memang begitu indah, fleksibel dan tidak kaku dan selalu dapat menjawab permasalahan yang berkembang di massyarakat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar